Kamasanpost Headline Animator

Masa Peralihan Kekuasaan

Sesuai dengan perjanjian New York 15 Agustus 1962 yaitu persetujuan antara pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia mengenai Irian Barat (West Papua), maka dibentuklah suatu Badan Pelaksana Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diberi nama United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Badan itu berada dibawah kekuasaan Sekretaris Jenderal PBB. UNTEA dikepalai oleh seorang Administrator PBB yang diangkat oleh Sekretaris Jenderal PBB dengan persetujuan dari pemerintah Indonesia dan Belanda. Administrator tersebut menjalankan pemerintahan di Irian Barat (West Papua) untuk jangka waktu satu tahun sesuai petunjuk dari Sekretaris Jenderal PBB.



Tugas-tugas pokok UNTEA dapat diperinci sebagai berikut:

1. Menerima penyerahan pemerintahan atau wilayah Irian Barat (West Papua) dari pihak Belanda.

2. Menyelenggarakan pemerintahan yang stabil di Irian Barat (West Papua) selama suatu masa tertentu.

3. Menyerahkan pemerintahan atas Irian Barat kepada pihak Republik Indonesia.

Sedangkan dalam menyelenggarakan pemerintahan di Irian Barat, UNTEA wajib melaksanakan tugas-tugas sebagai berikut:

· Memelihara keamanan dan ketertiban umum (Maintaining Law & Order)

· Mengumumkan dan menerangkan secara luas ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Indonesia dan Belanda serta memberitahukan kepada penduduk Irian Barat mengenai penyerahan pemerintahan kepada pihak Indonesia dan mengenai ketentuan-ketentuan penentuan nasib sendiri sebagaimana ditetapkan dalam persetujuan.

Dalam menjalankan tugasnya, UNTEA berwenang menetapkan peraturan baru atau mengubah peraturan yang telah ada sesuai dengan tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya. UNTEA berwenang pula memperkerjakan pegawai-pegawai bangsa Indonesia dan Belanda dalam pelbagai dinas, kecuali pada jabatan-jabatan tertinggi seperti direktur departemen, residen dan kepala polisi yang harus dijabat oleh pejabat berkebangsaan lain. Juga menurut surat bersama dari pihak Indonesia dan Belanda kepada Sekretaris Jendral PBB pada tanggal 15 Agustus 1962, UNTEA mempunyai wewenang mengeluarkan paspor bagi penduduk Irian Barat yang memintanya. Dalam persetujuan itu ditetapkan pula bahwa semua biaya UNTEA akan dipikul dengan sama rata oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda.

Menurut pasal IX dan XII dari persetujuan Indonesia dan Belanda, dimana pemerintahan UNTEA di Irian Barat hanya akan berjalan beberapa bulan, maka pada dasarnya susunan organisasi dan tata kerja UNTEA meneruskan saja susunan organisasi dan tata kerja Nederlands Nieuw Guinea dulu. Dengan demikian seluruh pekerjaan pemerintahan pada masa UNTEA dibagi dalam 8 (delapan) departemen dan masing-masing departemen dikepalai oleh seorang direktur. Adapun departemen yang dimaksud adalah:

· Departement of Cultural Affairs (Including Education)

· Departement of Economic Affairs

· Departement of Finance

· Departement of Internal Affairs

· Departement of Public Health

· Departement of Public Works

· Departement of Social Affairs and Justice

· Departement of Transport and Power

Administrator dibantu oleh sebuah Goverments Secretariat sama seperti masa Belanda, juga terdapat enam Division yang dikepalai oleh Divisional Commissioner (Resident). Division dibagi lagi kedalam sub Division dan Distric.

Untuk keperluan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum, UNTEA membawakan angkatan kepolisian peninggalan Belanda yang mayoritasnya penduduk Irian Barat (West Papua) dan untuk memperkuat angkatan kepolisian, PBB menyiapkan suatu United Nations Security Forces (UNSF) yang terdiri dari pasukan dari Pakistan, angkatan udara Amerika Serikat dan Canada. Sesuai persetujuan Indonesia-Belanda, pasukan Indonesia yang telah berada di wilayah Irian Barat ditempatkan dibawah kekuasaan Sekretaris Jenderal PBB dan diperuntukkan sebagai pasukan keamanan di Irian Barat.

Selanjutnya dengan Resolusi Majelis Umum PBB No. 1752 tanggal 21 September 1962 dicatat persetujuan Indonesia-Belanda untuk penyerahan pemerintahan di Irian Barat kepada UNTEA, dimana Sekretaris Jenderal PBB mengirimkan perutusan untuk menerima pemerintahan di Irian Barat. Sejak 1 Oktober 1962 berlangsunglah pemerintahan UNTEA dibawah pimpinan Administrator Jose Rolz Bennet yang tidak lama kemudian diganti oleh Dr. Djalal Abdoh. Mulai pada hari itu juga bendera PBB mulai berkibar berdampingan dengan bendera Belanda di Irian Barat hingga tanggal 31 Desember 1962 bendera Belanda diturunkan dan sebagai gantinya dikibarkanlah bendera Indonesia berdampingan dengan bendera PBB (UNTEA).

Untuk memperkuat angkatan kepolisian Irian Barat tiba pula pasukan keamanan PBB (UNSF) dibawah pimpinan Mayor Jenderal Said Uddin Khan dari Pakistan, dimana pasukan Indonesia digabungkan dengan pasukan PBB sebagai kontingen Indonesia disamping kontingen Pakistan, Amerika Serikat dan Canada. Kemudian secara berangsur-angsur Administrator UNTEA mengganti pejabat-pejabat tinggi Belanda di Irian Barat dengan pejabat-pejabat berkebangsaan lain sebagai para director, divisional commissioner, police commander, resident. UNTEA juga masih tetap memperkerjakan 11 orang Belanda dalam bidang ekonomi, keuangan, kesehatan, dan pemerintahan dalam negeri. Penduduk Irian Barat yang telah bekerja dibidang administratif dan teknis terus digunakan oleh UNTEA. Untuk mengisi berbagai jabatan pemerintahan di Irian Barat seperti pengadilan, kejaksaan, perhubungan, telepon, dan lain-lain UNTEA memintakan bantuan tenaga-tenaga dari pemerintah Republik Indonesia. Selanjutnya untuk memudahkan dan memperlancar pemerintah Irian Barat kepada pemerintah Indnoesia kelak, maka pada tiap-tiap departemen dan divisi diperbantukan pejabat-pejabat Indonesia sebagai Deputy Director dan Deputy Resident. Secara berangsur-angsur pegawai bangsa Belanda meniggalkan Irian Barat, dimana hingga Maret 1963 praktis hampir semua jabatan dalam pemerintahan UNTEA telah berada ditangan bangsa Indonesia, kecuali jabatan-jabatan tertentu dan vital yang terus dipegang oleh petugas PBB bangsa lain hingga pada akhir masa tugas UNTEA di Irian Barat. Berdasarkan catatan pada akhir masa UNTEA (30 April 1963), jumlah seluruh pegawai sipil Indonesia termasuk petugas-petugas kepolisian adalah sebagai berikut:

Pegawai berasal dari Irian Barat

........................................

7625

Orang

Pegawai berasal dari daerah lain

........................................

1564

Orang

Jumlah

9189

Orang

Mengenai anggaran belanja pemerintah UNTEA selama 7 bulan (Oktober 1962-April 1963) tercatat sebagai berikut:

Belanja Pegawai

....................................................

26.380.500

Belanja Barang

....................................................

32.776.500

Belanja Modal

....................................................

9.503.000

Jumlah

68.660.000

Perhitungan tersebut dalam Rupiah Irian Barat. Demikian UNTEA mulai menjalankan roda pemerintahan di Irian Barat dengan berbagai kesulitan yang terus dihadapi sesuai konsekuensi dari proses peralihan kekuasaan. Selain pejabat-pejabat sipil internasional, kerja sama dengan perwakilan Republik Indonesia di Irian Barat yang waktu itu dipimpin oleh Sudjarwo Tjondronegoro, SH serta perwakilan Belanda yang dipimpin L. J. Goedharta, maka pemerintahan UNTEA dapat bejalan dengan lancar, tenang dan damai walaupun terdapat beberapa insiden yang dapat ditanggulangi yaitu di Sorong dan Manokwari. Keberhasilan UNTEA itu dapat ditandai dengan hasil-hasil yang telah dicapai yaitu: berjalannya terus semua dinas umum, terpeliharanya keamanan dan ketertiban, dipertahankannya stabilitas perekonomian dengan persediaan barang-barang penting yang cukup. selesainya berbagai proyek umum seperti rumah sakit, dermaga, sekolah, pusat penelitian pertanian, penyimpanan air minum, gedung perwakilan rakyat dan gedung pengadilan, perluasan jalan dan lapangan terbang. UNTEA benar-benar melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga segala sesuatu dipersiapkan pada tanggal 1 Mei 1963 UNTEA menyerahkan pemerintahan Irian Barat sepenuhnya kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Sebelum penyerahan kekuasaan kepada Indonesia dalam bulan Desember 1962 suatu delegasi 7 orang Irian Barat (Papua) yang dipimpin oleh Eliezer Jan Bonay mendesak agar penyerahan kekuasaan oleh UNTEA kepada Indonesia dilakukan sebelum tanggal 31 Desember 1962. Delegasi itu menyampaikan usulannya kepada pemerintah Indonesia, pemerintah Belanda dan Sekretaris Jenderal PBB. Usul tersebut ditolak oleh Belanda dimana Perdana Menteri De Quay menyatakan bahwa perjanjian New York harus dihormati dan untuk itu harus menunggu hingga tanggal 1 Mei 1963. Sekretaris Jenderal PBB Menolak karena menurut peraturan tata tertib PBB bahwa suatu perutusan yang ingin menghadap haruslah disponsori oleh sebuah negara naggota PBB. Indonesia harus bersikap netral disini agar tidak timbul penilaian yang salah terhadap Indonesia, sehingga delegasi itu kembali tanpa diterima oleh Sekretaris Jenderal PBB sejak tanggal 19 Desember 1962. Berbagai demonstrasi pro-Indonesia muncul diberbagai kota seperti Kotabaru, Manokwari, Ransiki, Biak, Merauke, Enarotali dan Kokonao yang pada intinya menuntut perpendekan masa pemerintahan UNTEA. Pada tanggal 14 Januari 1963 di Kotabaru suatu delegasi yang dipimpin oleh 18 pemimpin rakyat menyampaikan suatu pernyataan kepada Administrator UNTEA, Dr. Djalal Abdoh sebagai berikut:

Kami Rakyat Irian Barat dengan ini menyatakan:

1. Menuntut perpendekan pemerintahan UNTEA

2. Menggabung segera kepada Republik Indonesia secara Mutlak dan tanpa Syarat.

3. Setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945.

4. Menghendaki adanya Negara Kesatuan yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke.

5. Menghendaki Otonomi yang seluas-luasnya dalam Republik Indonesia bagi wilayah Irian Barat.

Pada tanggal 15 Januari 1963 terjadi demonstrasi rakyat Merauke yang menimbulakan insiden yang mengakibatkan beberapa orang luka-luka ketika anggota polisi Irian Barat dibawah pemerintahan UNTEA melepaskan tembakan terhadap bendera Merah Putih yang dibawah oleh para demonstran untuk membubarkan mereka, hal itu disebut dengan protes keras oleh komandan pasukan kontingen Indonesia Kolonel Sudarto yang menganggap bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.

Sebelum itu yaitu pada awal bulan Januari 1963 rakyat Irian Barat yang pro-Indonesia terutama di Kotabaru dibagikan bendera Merah Putih, lencana Garuda Pancasila dan gambar Presiden Soekarno. Adapun tuntutan mereka dengan berbagai resolusi dan pernyataan politiknya adalah:

· Penggabungan dengan Republik Indonesia secara mutlak dan tanpa syarat.

· Perpendek masa pemerintahan UNTEA di Irian Barat.

· Menolak Plebisit.

Demikian juga perlu dicatat bahwa pada bulan Oktober 1962, di Sorong terjadi Insiden antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) Patimura dibawah pimpinan Letnan Satu Nusi dengan polisi setempat dipimpin oleh Letnan G. Dimara. Insiden tersebut dapat diselesaikan dengan baik oleh UNSF-UNTEA. Juga dalam bulan Desember 1962 di Manokwari, Batalyon Papua atau PVK melakukan penyerangan terhadap pasukan Indonesia Brawijaya yang dipimpin oleh Sersan Mayor Permenas Ferry Awom dan kawan-kawan, dimana oleh UNSF-UNTEA Awom dan 20 temannya diberhentikan dari PVK setelah terlebih dahulu dipenjarakan selama satu bulan.

Walaupun dalam perjalanan pemerintahan UNTEA dihadapkan terhadap berbagai permasalahan, namun dapat dikatakan bahwa UNTEA berhasil dalam tugasnya dan menyerahkan kekuasan kepada pemerintah Indonesia dengan baik sesuai dengan persetujuan New York.

Setelah daerah Irian Barat secara De Jure dan De Facto berhasil dikembalikan ke Negara Kesatuan Republik Indonesia atau ke pangkuan Ibu Pertiwi, maka wilayah kekuasaan Republik Indonesia meliputi Sabang-Merauke yaitu seluruh wilayah bekas jajahan pemerintahan Belanda. Sehubungan dengan itu pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden (PENPRES) nomor 1 tahun 1963 sebagai kebijaksanaan untuk segera melaksanakan pemerintahan di wilayah Irian Barat atau Irian Jaya dalam masa peralihan sehingga susunan dan penyelenggaraan pemerintahan di Irian Jaya sama dengan daerah Indonesia lainnya. PENPRES nomor 1 tahun 1963 ini adalah ketentuan pokok mengenai pemerintahan dalam masa peralihan dengan memperhatikan PENPRES nomor 1 tahun 1962 dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 serta beberapa ketentuan atau peraturan lainnya mengenai pemerintahan daerah.

Dalam pasal 4 PENPRES Nomor 1 tahun 1963 dijelaskan bahwa pemerintah Afdeling, Onderafdeling dan Distric termasuk badan perwakilannya yang ada menjelang penyerahan pemerintahan seluruhnya kepada Republik Indonesia, membantu pemerintah propinsi Irian Barat menjalankan pemerintahan di daerah masing-masing menurut petunjuk Gubernur. Jelaslah bahwa struktur pemerintahan ditingkat Afdeling, Onderafdeling dan Distric belum dirubah atau disesuaikan dengan struktur pemerintahan di daerah Indonesia lainnya. Pasal 7 PENPRES Nomor 1 tahun 1963 menentukan bahwa Gubernur membawakan semua pemerintahan sipil yang ada di daerah Irian Jaya serta mengadakan koordinasi antara penyelenggaraan tugas-tugas peralatan itu.

Adapun susunan pemerintahan berdasarkan PENPRES Nomor 1 tahun 1963 juncto (jo) Instruksi Presiden RI nomor: 02/Instr/1963 (RHS) tentang penyelenggaraan pemerintahan di Irian Jaya adalah sebagai berikut:

· Pimpinan pemerintahan dipegang oleh Gubernur.

· Wakil Gubernur membantu Gubernur dalam semua tugas pemerintahan dan mewakilinya apabila Gubernur berhalangan.

· Gubernur mempunyai sebuah Sekretariat yang dikepalai oleh Sekretaris Propinsi.

· Dalam menjalankan tugasnya, Gubernur dan Wakil Gubernur dibantu oleh kepala-kepala Dinas, semua tenaga pemerintahan dalam arti luas, dibagi dalam Dinas-Dinas yang masing-masing dikepalai oleh seorang Kepala Dinas.

Sebagai realisasi dari pasal 4 PENPRES Nomor 1 tahun1963, maka propinsi Irian Barat dibagi dalam 6 keresidenan, 23 Kepala Pemerintahan Setempat (KPS) dan 79 Distric. Dalam perkembangannya maka pada akhir tahun 1963 terdapat 27 KPS dan 90 Distric. Sebagai realisasi dari Peraturan Presiden nomor 2 tahun 1963 tentang penghapusan Karesidenan dan Kawedanan, maka pada tahun 1965 Karesidenan dihapuskan di seluruh Indonesia termasuk Irian Jaya. Khususnya untuk Irian Jaya bekas Wilayah Karesidenan tersebut dijadikan kabupaten Administratif. Untuk menyempurnakan aparatur kabupaten, maka tahun 1967-1968 dibentuk DPRD kabupaten untuk seluruh kabupaten diseluruh Irian Jaya berdasarkan keputusan Gubernur Irian Barat nomor 61/GIB/1967 (disempurnakan) dan keputusan menteri dalam negeri nomor 177 tahun 1967. Pemekaran daerah Irian Jaya berjalan terus karena wewenang gubernur tidak hanya membentuk daerah-daerah KPS dan Distric tetapi berdasarkan PENPRES nomor 1 tahun 1963 tersebut. Gubernur dapat membentuk Kabupaten Administratif baru mendahului keputusan pemerintah pusat. Atas wewenang tersebut maka dibentuklah 3 kabupaten baru yaitu: Kabupaten Paniai dalam tahun 1965; Kabupaten Sorong dalam tahun 1967; Kabupaten Yapen Waropen dalam tahun 1969. Akhirnya pada tahun 1969 wilayah Administratif di Irian Jaya terdiri dari 9 Kabupaten, 36 KPS dan 144 Distric.

 

About Me

Foto saya
disini tempat kami bermain, kami ingin leluasa mencari apa yang terjadi di sini. ingin bertanya sama tanta Google.... harap tidak membatasi kami....!

Pinda Ke Facebook

Recent Post

News & Update

Sign up to receive updates

Blogspot tutorial & Free Template.


Recent Coment

Powered by FeedBurner I heart FeedBurner