Kamasanpost Headline Animator

Muridan Kebanggaan Orang Papua

Oleh-oleh dari Aceh untuk Papua
Bapak Muridan S. Widjojo Yang selama ini beroperasi di papua dengan memakai payung LIPI. Telah mengembangkang berbagai penelitian dengan maksud.....?. Semua artikelnya bisa anda baca langsung dari blog-nya, bermanfaat untuk Rakyat Papua Barat atau sebaliknya. kamipun tidak menilai dari sudut pandang kami bahwa benar tidaknya semua artikel yang ditulis oleh Muridan. tapi yang akan menentukan benar-tidaknya artikel terkait adalah para pembaca.
dan berikut adalah salah satu kutipan berita yang Muridan tuliskan di dalam blog pribadinya:
Saya menerima undangan resmi dari Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Irwandi Yusuf, untuk menghadiri lokakarya "Kemajuan dan Tantangan Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh menurut UU Nomor 11 Tahun 2006" pada 19 November di Banda Aceh. Lokakarya ini merupakan hasil kerjasama antara Pemerintah Aceh dan LSM Jerman GTZ Algap II. Selain mengevaluasi pelaksanaan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, ada juga presentasi tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan Yogyakarta oleh pejabat Departemen Dalam Negeri. Karena ingin belajar lebih banyak dari kemajuan politik di Aceh, saya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan di Jakarta.

Oleh-oleh pertama dari lokakarya tersebut adalah penjelasan ahli Otsus dari Universitas Guelph, Gabrielle Ferrazzi, bahwa otonomi khusus adalah salah satu bentuk desentralisasi asimetris, yakni pendekatan desentralisasi yang membedakan derajat desentralisasi antarunit pemerintahan. Pemberian otsus oleh pemerintah pusat adalah fenomena biasa saja, sama sekali tidak istimewa dan tidak membahayakan integritas suatu negara. Di banyak negara otsus sudah banyak diterapkan. Yang menonjol adalah negara Spanyol yang memiliki 17 komunitas otonom. Dalam prakteknya otsus memang lebih sulit dikelola karena kompleks dan oleh karenanya membutuhkan kapasitas yang tinggi dari pemerintah pusat.

Tema tersebut di atas merupakan kritik terhadap sebagian elit pemerintah pusat yang menganut nasionalisme sempit dan ketakutan bahwa otsus adalah praktik luar biasa yang membahayakan dan berpotensi menjadi jembatan menuju pemisahan diri. Secara teoretis dan praktik, otsus tidak pernah memberi ruang untuk kemungkinan pemisahan diri. Yang biasa terjadi adalah instabilitas politik (tuntutan kemerdekaan) dapat diatasi, optimisme dan suasana politik kondusif meningkat dan akhirnya kualitas integrasi suatu negara meningkat. Jadi kalau elemen Jakarta (dari unsur legislatif dan eksekutif) menghambat pelaksanaan Otsus Papua dengan cara mendorong pemekaran sebanyak-banyaknya, itu berarti merendahkan kualitas integrasi NKRI sendiri.

Oleh-oleh kedua adalah pelajaran tentang kemajuan Aceh pasca MOU Helsinki secara kelembagaan. Provinsi Aceh memiliki kekhususan seperti Wali Nanggroe, Majelis Adat Aceh (MAA) dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Selain partai nasional, Aceh juga memiliki partai lokal misalnya Partai Aceh, Partai SIRA, Partai Rakyat Aceh, dan lain-lain. Inovasi berbagai lembaga baru ini menciptakan arena baru bagi setiap kelompok strategis di Aceh untuk ikut berperan di dalam dinamika sosial dan politik yang menentukan masa depan Aceh. Buah dialog Helsinki tidak hanya memberikan ruang pada politisi dan mantan pejuang GAM, tetapi juga para tokoh adat, ulama, mantan aktivis LSM dan mahasiswa.

Otsus Papua juga sudah menghasilkan lembaga unik Majelis Rakyat Papua (MRP), yang dengan segala kekurangannya, mulai berfungsi. Tapi tidak seperti Aceh, meskipun disebutkan dalam UU 21/2001 tentang pembentukan partai lokal (parlok), di Papua dan Papua Barat belum ada wacana kuat tentang rencana pembentukan partai lokal baik dari DPRP, pemerintah provinsi, maupun MRP. Setelah berdiskusi dengan pimpinan partai lokal Aceh, saya mendapatkan kesan bahwa keberadaan partai lokal menjadi sarana pendidikan politik yang sangat baik untuk penduduk lokal. Saya percaya bahwa keberadaan Parlok memberi warna menarik dan positif bagi politik Indonesia. Tidak ada tanda sedikit pun bahwa parlok akan menjadi alat baru separatisme. Ini adalah oleh-oleh ketiga.

Oleh-oleh keempat adalah soal anggaran. Di Banda Aceh, melalui Modus Aceh, Gubernur Irwandi Yusuf dikritik keras oleh kelompok Konsorsium Aceh Baru karena pemerintahnya hanya mampu menyerap sekitar 15-20% anggaran 2008 pada November. Selain masalah administrasi yang rumit, terdapat pendapat bahwa pemerintahan Irwandi Yusuf sangat berhati-hati agar di kemudian hari tidak dituntut oleh KPK. Di dalam tubuh pemerintahannya bahkan terdapat satu unit khusus yang mengawasi kemungkinan korupsi. Cerita berkembang bahwa lebih baik daya serap rendah daripada nantinya dituduh korupsi. Ini berbeda dengan Papua yang daya serap anggarannya lebih tinggi tetapi kalau dilihat sejumlah laporan BPK, indikasi korupsinya juga sangat tinggi. Mau pilih mana? Keberhasilan, saya pikir, terutama harus diukur dari kualitas program pembangunan yang dijalankan. Daya serap anggaran hanyalah salah satu tolok ukur itu.

Oleh-oleh kelima adalah soal bendera. Melalui berbagai proses dan diselingi dengan munculnya PP 77/2007 tentang larangan penggunaan simbol-simbol separatis, di jalan-jalan kita bisa melihat "bendera GAM" berkibar menyambut kita yang dari bandara Banda Aceh. Bendera itu rupanya sudah dimodifikasi dengan menghilangkan lambang bulan bintang dan menggantinya dengan tulisan Aceh. Kata intelektual Aceh Ahmad Farhan Hamid, penulis buku Jalan Damai (2008), bendera hanyalah lambang dan tidak perlu menjadi pertengkaran antara Jakarta dan Aceh. Farhan di satu sisi mengeritik pemimpin Papua yang terlalu banyak buang energi memperjuangkan Bintang Kejora sebagai simbol daerah, di sisi lain, juga mengeritik Jakarta yang terlalu sensitif dengan simbol-simbol tapi mengabaikan substansi. Bintang Kejora sebagai simbol daerah bisa dinegosiasikan. Mungkin dengan sedikit perubahan, seperti bendera Partai Aceh.

Oleh-oleh keenam adalah nuansa Aceh setelah dialog Helsinki. Nuansa ini saya tangkap setelah mengobrol dengan Hendra Budian dan kawan-kawan di warung kopi De Helsinki dan warung kopi Solong, serta diskusi dengan pimpinan Partai SIRA. Dialog Helsinki yang menghasilkan perdamaian Aceh telah memberikan optimisme baru di semua kalangan. Energi sosial dan politik Aceh kini diarahkan sepenuhnya pada masa depan: kerja-kerja politik, pengorganisasian, penguatan akar rumput, dan pembangunan oleh dan bagi semua rakyat Aceh. Di Aceh kita melihat lompatan jauh daripada bagian Indonesia yang lain. Papua tertinggal puluhan langkah dari Aceh. Dengan caranya sendiri, Papua bisa mengikuti jejak Aceh.

Salah satu kelebihan terpenting Aceh adalah bahwa posisi politiknya sudah pada tahap pasca konflik berkat dialog Helsinki 2005. Segala hambatan, seperti gugatan apakah Aceh menjadi bagian dari Indonesia, sudah selesai sehingga langkah-langkah menuju Aceh baru sudah bisa dimulai. Sedangkan Papua berbeda. Kita belum bisa mengatakan bahwa Papua sudah berada pada tahap pasca konflik. Papua masih ada dan bersama Jakarta terjebak di dalamnya...
(Foto: Makam massal korban Tsunami Aceh 2004 di Banda Aceh, oleh Muridan S. Widjojo 2008)

Comments :

0 komentar to “Muridan Kebanggaan Orang Papua”

Posting Komentar

Tulis dan Kirim Komentar Anda

 

About Me

Foto saya
disini tempat kami bermain, kami ingin leluasa mencari apa yang terjadi di sini. ingin bertanya sama tanta Google.... harap tidak membatasi kami....!

Pinda Ke Facebook

Recent Post

News & Update

Sign up to receive updates

Blogspot tutorial & Free Template.


Recent Coment

Powered by FeedBurner I heart FeedBurner